Jumlah dokter gigi yang membuka praktek atau klinik gigi sendiri cukup besar, bersaing dengan dokter umum dan dokter spesialis kulit. Namun para dokter ini tidak diajarkan cara mengelola bisnis di bangku kuliahnya, sehingga saat para dokter gigi mulai menjalankan bisnisnya terlihat cara pengelolaannya sekenanya saja. Hal ini berbeda sekali dengan tampilan klinik-klinik gigi yang “wah” namun dijalankan dengan manajemen bisnis seadanya.

Dua topi dokter gigi

Pada dasarnya ketika membuat praktek/klinik gigi sendiri, dokter gigi mempunyai dua buah “topi” yang tidak bisa dipakai bersamaan.  Yaitu “topi dokter gigi” dan “topi pengusaha”. Topi pertama adalah topi yang dipakai saat dia bertindak sebagai dokter gigi, yang selalu ingin dapat melayani pasiennya dengan baik. Dengan topi ini, dokter gigi juga selalu haus akan ilmu pengetahuan, dengan sebisa mungkin mengikuti training-training keterampilan teknis kedokteran gigi.

 

Artikel terkait : Business Plan Klinik Gigi

 

Topi kedua adalah topi yang dipakai saat seorang dokter gigi bertindak sebagai pengusaha. Pengusaha yang memikirkan bagaimana caranya setiap bulan tidak telat membayar karyawannya, bagaimana caranya setiap bulan bisa membayar listrik, telepon, internet dan air tepat waktu, dan bagaimana caranya membayar sewa tempat dan vendor-vendor saat jatuh tempo.

 

Artikel terkait : Membangun Bisnis Praktek Dokter Gigi (1) : Persiapan Mental

 

Kedua topi ini seringkali berbenturan apabila tidak disikapi dengan bijak. Seorang dokter gigi yang memiliki klinik gigi di wilayah industry, yang 70% pasiennya berasal dari layanan BPJS dan sisa 30% lagi dari pasien layanan dasar yang tidak ditangung oleh BPJS, saat memakai “topi dokter gigi” secara keilmuan tentu ingin sekali menguasai keterampilan melakukan layanan implan kepada pasiennya. Untuk itu dia harus mengikuti training mengenai implan. Namun ketika dia memakai “topi pengusaha”, dia akan berpikir bahwa layanan implan tidak diperlukan oleh pasien-pasien yang datang ke kliniknya, karena itu layanan implan tidak akan laku di kliniknya.

 

 

Penggunaan kedua topi ini yang seringkali tidak dilakukan secara bijak, sehingga mengorbankan sisi bisnis dari klinik gigi. Sebagai contoh, dalam mengikuti training mengenai implant serta membeli peralatan untuk implant, seorang dokter gigi kadang-kadang menggunakan uang kas klinik, padahal layanan implan tersebut tidak aka nada peminatnya di klinik giginya. Hal seperti ini yang akan mengganggu cashflow klinik gigi tersebut. Ini akan menimbulkan pengeluaran yang tidak produktif, karena tidak akan menambah pendapatan bagi klinik gigi. Dalam menyikapi hal seperti ini, sebaiknya dokter gigi yang akan menambah keterampilannya, namun tidak memberikan nilai tambah kepada klinik giginya, dia menggunakan uang pribadinya.

 

Artikel terkait : Siklus Bisnis

 

Laba = pemasukan – pengeluaran

Rumus dasar dari bisnis ini amat simple, hampir semua orang tahu, anak SD pun diajarkan bahwa untung adalah penjualan dikurangi pembelian. Bisnis klinik gigi juga seperti itu, keuntungan klinik gigi adalah jumlah pemasukan klinik gigi dikurangi oleh pengeluarannya. Namun pada umumnya dokter-dokter yang mempunyai klinik gigi atau praktek pribadi tidak mengetahui secara pasti keuntungan klinik gigi/praktek pribadinya. Hal ini karena pengelolaan keuangan yang masih tidak rapi.

 

 

Artikel terkait : Analisa SWOT pada Klinik Gigi (1) : Strength

 

Keuangan klinik seringkali dicampur dengan keuangan pribadi, terlebih apabila pemilik klinik/praktek pribadi masih mempunyai penghasilan lain diluar klinik gigi/praktek pribadinya, sehingga tidak tahu secara pasti berapakah keuntungan klinik gigi/praktek pribadinya, lebih parah lagi adalah, pemilik klinik gigi tersebut tidak bisa memastikan apakah klinik giginya/praktek pribadinya saat ini menguntungkan atau merugi.

Untuk mengatasi hal tersebut, maka pemilik klinik harus dengan disiplin memisahkan uang pribadinya dengan uang kas kliniknya. Sehingga keuntungan dan kerugiannya bisa dengan benar dapat dihitung, yaitu laba adalah pemasukan dikurangi pengeluaran,

 

Comments powered by CComment